Senin, 30 Januari 2017

Gili Kedis

Gili Kedis, Gili Surga Di Lombok Barat

Pulau Kedis

Gili Kedis adalah Gili yang berada di Pulau Lombok khususnya di Lombok Barat kaya akan beragam potensi alam yang menakjubkan sejatinya menjadi saksi bisu pemberian Tuhan yang layak  disyukuri. Suatu saat nanti Pulau Lombok akan mampu  menandingi Pulau Bali. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah wisatawan yang berkunjung ke negeri belahan surga dari deretan Sunda Kecil di wilayah Nusa Tenggara ini.
Bentangan pantai pasir putih bak merica tiada batas nyaris tak terlewatkan kita temukan di  alam pantai maupun di Gili-Gili (pulau kecil) yang ada di Lombok. Yang sudah diketahui lwbih dulu oleh publik bahkan sudah mendunja, yaitu gili trawangan, gili meno dan gili air merupakan kekayaan wisata yang sangat terkena di pulau Lombok. Tiga icon pariwisata ini merupakan branding yang dimunculkan untuk menarik sejuta wisatawan untuk datang ke Lombok. Namun tidak terhenti sampai di situ saja, selain tiga gili ini ternyata Lombok juga mempunyaj  gili lain yang keindahannya tidak kalah dengan tiga gili yang ada. Itulah Gili Kedis.
Gili Kedis sendiri berada disebelah barat desa Sekotong Tengah dusun Batu Kijuk kecamatan Sekotong, kurang lebih 1000 m. Wilayah yang kurang diperhatikan oleh pemerinth daerah ini menyimpan keindahan yang sangat eksotis, dengan pantainya yang dibalut pasir putih lebih bagus dari pantai Senggigi. Hal yang menarik dari gili satu ini adalah gelombang lautnya yang tidak ada lebih persis terlihat seperti danau. Selain itu gili ini masih bersih dan alami tidak ada sampah yang terlihat sampai menurut pengakuan salah seorang warga disana lokasi ini (gili kedis) pernah dijadikan sebagai lokasi shoting film asing..
Keindahan gili kedis ini sayang sekali tidak banyak diketahui oleh orang, bahkan sngat tidak terurus. Masyarakat sangat membutuhkan fasilitas seperti dermaga untuk dijadikan sebagai bersandarnya perahu yang digunakn sebagai alat transportasi bagi tamu yang ingin mengunjungi gili satu ini.
Jika diambil dari poto udara, bentuk Gili Kedis ini memang unik. Seperti bentuk jantung atau lambang cinta (love). Karena itu bagi siapa saja yang baru pertama ke Gili Kedis ini akan langsung takjub dan berdecak kagum tiada henti dengan keindahan pulau mungil yang berpasir putih dan lembut ini.

Gili Kedis tampak dari atas
Gili Kedis memang mempesona untuk dipandang. Dengan ukuran mungilnya, pulau ini menjadi tampak cantik. Tak perlu waktu lama untuk menjelajahi seluruh pulau dengan ukuran lebih kecil dari lapangan bola ini. Sekitar sepuluh atau sebelas menit, seluruh pantainya akan habis kita jejaki.
Melihat makin derasnya arus kunjungan wisatawan, dimana wisatawan ingin menikmati hal-hal baru dan spesifik, setiap akhir pekan ataupun saat musim liburan tiba, Gili Kedis makin ramai pengunjung tidak saja wisatawan domestik, namun wisatawan mancanegarapun tak melewatkan kesempatan liburannya untuk menimati hamparan keindahan Gili Kedis.
Berada di pantai memang panas menyengat, namun rimbunnya pepohonan tertiup angin semilir di pantai, menjadikan pengunjung di Gili Kedis ini terasa betah untuk lebih lama dinikmati. Kecuali itu Pemerintah Daerah Lombok Barat juga membangun gazebo dan berugak kecil sebagai tempat para wisatawan melepas lelah. Kelebihan pantai ini adalah airnya yang jernih. Selain kejernihan yang mengelilingi gili ini, Gili Kedis memiliki alam bawah laut yang indah.
Keindahan terumbu karangnya masih cukup terjaga sebagai habitat dari berbagai jenis ikan. Di satu sisi terdapat pasir putih yang lembut dengan ombak yang relatif tenang, sedangkan di sisi lainnya teradapat bebatuan yang tergerus oleh ombak. Bagai penyuka snorkeling, bawah laut gili Kedis layak dijadwalkan dalam daftar penjelajahan.
Multiflyer effeck dari berkembangnya pariwisata di suatu daerah secara langsung memberikan nilai berganda bagi terdongkraknya ekonomi masyarakat. Masyarakat yang berdekatan tinggal dengan Gili Kedis rupanya cerdas membaca peluang  ini dengan berjualan berbagai jenis makanan, minuman, kuliner khas setempat.
Masyarakat nelayan juga meraup untung dari penyewaan perahu mereka yang menyeberangkan wisatawan ke Gili Kedis ini. Biayanya Rp 200.000 penyeberangan PP ke Gili Kedis untuk satu perahu dengan isi maksimal 10 orang.
Tips ke Gili Kedis: Berwisata ke Gili Kedis tidaklah sulit. Dari ibukota Lombok Barat di Gerung perjalanan sejauh 30 Km bisa ditempuh kea rah selatan baik dengan mengendarai sepeda motor maupun kendaraan roda empat (travel). Tidak kurang dari satu jam perjalanan sudah sampai di Gili Kedis. Menyeberang ke Gili Kedis banyak penyewaan perahu bernotor yang siap mengantar anda pulang pergi ke lokasi yang indah ini. Adapun tarifnya Rp. 200.000 PP/perahu dengan isi penumpang maksimal 10 orang. Di samping Gili Kedis terdapat Gili Nanggu dan Gili Sudak yang pemandangan bawah lautnya tidak kalah menarik dengan Gili Kedis. Tarif penyebrangan di atas sudah termasuk ketiga gili tersebut. Yuk intip keseruan alam Gili Kedis, Gili Nanggu dan Gili Sudak melalui foto-foto berikut:

Di kapal nelayan mau menuju Gili Kedis, Gili Naggu, Gili Sudak
Gili Kedis nampak dari samping
Pemandangan bawah laut Gili Kedis
Gili Nanggu tampak dari Gili Kedis
Gili Sudak dan Gili Nanggu Tampak dari Gili Kedis
Begitulah indahnya pemandangan gili kedis, gili surga Lombok Barat. Nantikan tulisan selanjutnya ^_^

Selasa, 24 Januari 2017

Rimpu Bima, Nusa Tenggara Barat



Rimpu Bima Mbojo



 
Budaya Wanita Bima

Sejarah Singkat Suku Bima (Duo Mbojo)


Suku Bima atau biasa disebut juga Dou Mbojo merupakan etnis yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Suku ini telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pemukiman orang Bima biasa disebut Kampo atau Kampe yang dikepalai orang seorang pemimpin yang disebut dengan Ncuhi. Jumlah Ncuhi yang terdapat di Suku Bima adalah tujuh Ncuhi yang pemimpin di setiap daerah.

Berbagai versi menyebutkan asal mula kata Bima menjadi suku tersebut. Ada yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.
Legenda tersebut tertulis dalam Kibat Bo’. Ceritanya berawal dari kedatangan seorang pengembara dari Jawa yang bernama Bima tadi. Bima merupakan seorang Pandawa Lima yang melarikan diri ke Bima pada masa pemberontakan di Majapahit. Dia melarikan diri melalui jalur selatan agar tidak diketahui oleh para pemberontak, lalu berlabuh di Pulau Satonda.

Adapun bahasa yang digunakan suku Bima adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo. Bahasa ini terdiri atas berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Bahasa yang mereka pakai ini termasuk rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Dalam dialek bahasanya, mereka sering menggunakan huruf hidup (vokal) dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf konsonan . Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”, 'makan' menjadi "ngaha", "mandi menjadi "ndeu", "tidur" menjadi "maru", dll.
Mata pencaharian utamanya masyarakat suku Bima adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Mereka juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Orang menyebut kuda tersebut dengan Kuda Liar. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang penting. Mereka memiliki sistem irigasi yang disebut Ponggawa. Para wanita Bima membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang terkenal.
Kain Nggoli Koleksi Dlava Butik
Kain Nggoli Kolesi Dlava Butik
Dalam masyarakat Bima, bagi kaum perempuan memiliki pakaian khas semacam sarung sebagai bawahan, ada juga yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut rimpu. Rimpu adalah pakaian adat perempuan Bima yang digunakan untuk menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut rimpu mpida.

SEJARAH SINGKAT RIMPU BIMA


Awal mula munculnya Rimpu dibima seiring masuknya penyebaran islam pada hari kamis tanggal 5 juli 1640 M, atau bertepatan pada tanggal 15 Rabiúl Awal 1050 H. Rimpu Mbojo merupakan busana adat tradisional yang mengenangkan perkembangan adat harian yang telah mendasari munculnya perkembangan keagamaan setelah berkembangnya masa kesultanan sebagai indentitas wanita muslim Mbojo pada zaman dulu. Di mana masayarakat Mbojo pada waktu penyebaran ajaran islam, rimpu menjadikan suatu polararitas keagamaan mereka dalam rangka mengembangkan suku budaya.

Masuknya Rimpu di Bima sangatlah kental setelah muncul peradaban dan penyebaran islam di disuatu wilayah Bima, Kabupaten Bermatoka Maja Labo Dahu. Di mana wanita Dana Mbojo mamakai Rimpu setelah datangnya pedagang islam ke Bima dengan mengedentikan pakain Arab. Arab yang dikenal sebagai Agama Islam yang patuh dianut. Konon, Rimpu menjadikan salah satu pra sejarah bima setelah munculnya ajaran islam oleh kedua datuk. Ke dua datuk ini,bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ri Tiro. Selain Di Bima, kedua Datuk ini dikenal sebagai tokoh utama yang menyeber agama islam di Pulau Sulawesi.
Masyarakat Bima (mbojo), Rimpu menjadi salah satu struktur sejarah sosial pada saat itu. Ini menjadikan sebuah toleransi wanita mbojo maupun para lelaki untuk meningkatkan kebudayaan dan ajaran yang dianut oleh mereka saat itu.

MENGENANG RIMPU BIMA

Rimpu merupakan pakaian yang menutup aurat orang bima pada zaman dulu. Rimpu menjadikan salah satu bahan pakaian yang digunakan untuk menutup aurat oleh kaum wanita masyarakat Mbojo saat itu, sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente” (menggulungkan sarung di pinggang). Rimpu memilki banyak manfaat dan kegunaannya. Dimana kegunaan dan manfaat rimpu pada zaman dulu yaitu : 1. Dipakai saat acara resmi, 2. Dan bisa juga dipakai saat orang meninggal dunia dan lain-lain. Orang Mbojo, rimpu merupakan salah satu pakaian yang sangat memiliki nilai moral, sosial, kesopanan, dan keagamaan cukup kuat. Dan ini moyoritas masyarakat mbojo dalam mengembangka adat-adat istiadat dan tradisi budaya. Sehingga rimpu dulu, dikenal sebagai penguat keagamaan mereka pada peradaban zaman dulu ketika mulai masuknya penyebaran islam di Bima.

Dikalangan masyarakat Mbojo,rimpu dikenal dua macam yaitu rimpu cilik dan rimpu colo. Dimana rimpu cilik biasanya dipakai oleh kaum wanita muda maupun remaja. Sedangkan rimpu colo biasanya digunakan oleh kaum ibu-ibu yang sudah bersuami. Konon, kaum wanita mbojo dulu, rimpu harus dipakai ketika mereka keluar rumah. Jika tidak, mereka telah melanggar hukum moral. Hal ini diungkapkan langsung oleh Nur Farhaty Ghani dari forum perempuan (forpuan) Bima. Bukan itu saja,mereka telah melagar hukum agama dan adat istiadat. Akan tetapi, kaum wanita mbojo dulu tetap akan mengingat pada pelanggaran tersebut. Sebab keyakinan dan kepercayaan mereka telah menjadikan suatu kokohannya dalam mengebangkan dan menegakkan polaralitas keagamaannya.

Mbojo sangat dikenal banyak wanita pemakai rimpu,sebab rimpu memberikan suatu lambang dan polaritas sosial yang sangat tinggi. Dimana orang mbojo, ketika memakai rimpu tersebur terasa nyaman. Ini menjadikan salah satu spritual question oleh kaum wanita mbojo dalam menghadapi erat perkembangan kondisi zaman. Dalam mewujudkan hal semacam ini, mbojo harus mendirikan kayakinan yang kuat dalam mempererat budaya dan adat istiadat mereka selanjutnya. Sungguh sangat menakjubkan jika masyarakat mbojo mepertahankan tradisi adat dan kebudayaan seperti ini. Sehingga mampu memperkokoh dan mempermudah untuk menciptakan kebudayaan dan adat istiadat yang penuh dengan keharmonisan.


Sekian tulisan tentang rimpu bima, nantikan tulisan selanjutnya. ^-^