Sabtu, 28 November 2015

Kain Songket dalam Kehidupan Masyarakat Sasak



Pakaian Adat Wanita Sasak


Penduduk asli Pulau Lombok adalah Suku Sasak. Dalam berkomunikasi sehari-hari, mereka menggunakan Bahasa Sasak.

Pada tahun 1740, kerajaan - kerajaan di Lombok seperti Selaparang, Pejanggik, Sokong, Langko, dan Bayan ditaklukkan oleh Kerajaan Karangasem - Bali (Sejarah NTB, 1988 : 49). Kerajaan Karangasem pun mulai mencengkramkan kekuasaannya yang berlangsung sampai paruh kedua abad ke-19. Ketika itulah banyak orang Bali - Karangasem yang berpindah ke Lombok, bergaul dengan masyarakat Sasak. Hubungan dan pergaulan dua komunitas, yaitu masyarakat Sasak dengan masyarakat Bali mengakibatkan perpaduan kebudayaan Sasak dengan Kebudayaan Bali, yang makin lama terjadilah akulturasi. Wujud akulturasi budaya Sasak dengan budaya Bali dapat dilihat pada beberapa aspek Kebudayaan Sasak, seperti kesenian, cara berpakaian adat, dll. Dalam hal pertenunan, sebagaimana dikatakan oleh beberapa penenun di Sukarara dan Getap, sering orang - orang Bali memesan kain songket dengan membawa kain songket Bali.

Pulau Lombok memiliki beberapa pelabuhan seperti Labuhan Lombok di Lombok Timur (sekarang Labuan Haji) serta Labuhan Sokong, Labuhan Tereng (sekarang Lembar), dan Labuhan Ampenan di Lombok Barat. Pelabuhan tersebut sebagai pintu keluar bagi beberapa komoditas termasuk barang - barang kerajinan seperti tenunan. Sekaligus juga sebagai pintu masuk bagi barang - barang impor seperti jenis - jenis benang dan kain. Aktivitas perdagangan di pelabuhan menyebabkan masyarakat Sasak berkenalan dengan benang impor dan kain impor. Jenis - jenis benang impor yang masuk melalui dunia perdagangan antara lain benang sutera, benang logam (emas dan perak), dan benang katun. Jenis - jenis kain impor yang masuk ke Lombok, antara lain adalah kain batik, kain rembang, kain sripe, dan kain tenun berupa sarung dari daerah Jawa. Kain kapal adalah kain songket memakai benang katun berasal dari Kalimantan yang ditemukan di Lombok Utara, dipakai sebagai pembungkus kitab Al-Quran.

Barangkali di pelabuhan ini terjadi perdagangan kain tenun songket Bali khususnya kain songket Bali Utara (Buleleng dan Karangasem), mengingat pelabuhan Buleleng juga merupakan salah satu pelabuhan dagang yang menghubungan wilayah Indonesia bagian Barat dengan wilayah Indonesia bagian Timur. Corak motif hias kain songket Lombok menunjukkan kemiripan dengan corak motif hias kain songket Bali Utara. Salah satu contoh, motif - motif yang mirip dengan kain songket Subahnale adalah kain songket Kekurungan di Bali Utara.

Dalam budaya pertenunan, masuknya benang impor dan kain impor memungkinkan para penenun di Lombok terasah proses kreatifnya, kemudian menerapkan bahan - bahan impor tersebut pada tenunannya, termasuk juga dalam hal motif hias seperti motif hias pucuk rebong (pohon hayat), motif swastika, motif barong (kala), motif garuda, motif singa, motif naga, dan lain-lain. Motif-motif seperti tersebut adalah motif-motif yang banyak terdapat pada arsitektur Candi di Jawa pada masa Hindu-Budha.

Masuknya Islam yang kemudian merubah sebagian besar kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat Sasak. Dalam hal seni hias, ajaran Islam melarang membuat motif hias yang memvisualisasikan bentuk-bentuk makhluk bernyawa seperti binatang dan manusia, sehingga lahirlah kain tenun songket Subahnale. Dasar tenunan kain songket Subahnale berwarna hitam atau merah, pada bagian tepi kain terdapat motif geometris dan pada bidang kain terdapat hiasan segi enam sambung menyambung yang didalamnya terdapat motif hias kembang remawa, bunga tunjung dan panah. Ragam hias tersebut memenuhi bidang kain.

Menenun kain songket Subahnale yang ragam riasnya memenuhi bidang kain merupakan pekerjaan yang rumit. Dibutuhkan kesabaran, ketelitian, serta waktu yang lama, kurang lebih satu bulan. Konon, seorang penenun saat itu merasa senang dan puas karena mampu menyelesaikan tenunan songketnya, lalu ia mengucapkan kalimat Subhanallah (Maha Suci Alloh). Lama kelamaan, akibat dipengaruhi ucapan tersebut, menjadilah Subahnale. Kain songket itu lalu dikenal dengan nama kain songket Subahnale.

Bagi masyarakat Sasak, memakai busana kain songket disamping untuk tampil menawan juga merupakan prestise bagi yang memakai dan keluarganya. Kain songket termasuk barang mewah. Masyarakat sasak yang memakai kain songket adalah orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi. Pada umumnya orang tersebut dari kalangan bangsawan. Bagi masyarakat Sasak dari kalangan bangsawan, mengenakan kain songket di samping sebagai prestise juga menunjukkan status sosial.

Pemakaian kain songket sebagai busana, paling menonjol terlihat pada pakaian pengantin pria maupun wanita pada upacara perkawinan. Busana pengantin pria terdiri dari ikat kepala (Sasak: sapuq) dari kain songket. Pada bagian dada ke bawah sampai lutut mengenakan dodot songket dan pada bagian perut ke bawah sampai betis mengenakan selewoq songket. Pengantin wanita mengenakan bendang songket sebagai kain panjang dann sabuk bendang songket sebagai ikat pinggang.

Daftar Pustaka
______________1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

______________2000.  Kain Songket Lombok. Nusa Tenggara Barat: Deppartemen Pendidikan Nasional Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Dlava Butik
Dlava Butik menjual kain tenun, songket khas daerah Nusa Tenggara Barat; juga Batik Sasambo (Sasak, Sumbawa, dan Mbojo) yang merupakan batik khas NTB. Dlava Butik juga menyewakan pelaminan khas Bima dan pakaian adat Lombok, Sumbawa, dan Bima. Mampir yuuk. Koleksi songket Lombok di Dlava Butik bias dilihat di postingan blog sebelumnya berjudul "Koleksi Songket Lombok Dlava Butik" atau bias datang langsung ke Dlava Butik di Jalan Pendidikan No. 17 Gomong - Mataram, tepatnya sebelum perempatan kantor Dikpora Propinsi NTB di Kota Mataram, NTB.

Mempelai Wanita Menggunakan Songket Motif Subahnale dari Dlava Butik
Songket Motif Subahnale

Pakaian Adat Pernikahan menggunakan Songket

Songket Motif Nanas Benang Emas Dlava Butik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar